RSS

Antisipasi Tsunami, BMKG Akan Pasang Radar Laut

TEMPO.COJakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan melengkapi Sistem Peringatan Dini Tsunami dengan radar laut. Deputi Bidang Geofisika BMKG Prih Harjadi menilai radar laut akan sangat membantu mengantisipasi tsunami. 

Tsunami seperti yang terjadi pascagempa besar di Aceh dan sekitarnya, misalnya, akan lebih mudah dan cepat terpantau menggunakan radar laut.

"Ke depan, kami akan memasang radar laut. Dia bisa memonitor gelombang tsunami di laut sebelum sampai ke pantai, sampai sejauh 150 kilometer," kata Prih ketika ditemui di kantornya, 

Sebenarnya Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System) sudah memiliki sejumlah instrumen, antara lain seismograf, buoy, tide gauge, CCTV, hingga sirene peringatan tsunami. Namun tidak semua instrumen ternyata berfungsi baik dan terdapat dalam jumlah yang cukup. 

Prih mengatakan, seismograf, alat untuk memonitor gelombang seismik yang dipancarkan sumber gempa bumi, hanya berjumlah 162 di seluruh Indonesia. Pemerintah Indonesia menyumbang 102 unit di antaranya. Sisanya berasal dari pemerintah Jepang, Cina, dan Jerman, serta kerja sama dengan organisasi internasional tentang monitoring ledakan nuklir bawah tanah (CTBTO).

"Dengan jaringan seismograf kita yang sudah cukup padat itu saja masih ada titik-titik yang bolong. Untuk itu jumlahnya ditargetkan menjadi 200-an pada tahun 2014," kata Prih. Pengadaan tambahan seismograf itu pun harus menunggu kepastian dari pemerintah Jepang selaku pemberi bantuan.

Tide gauge, alat pengukur pasang surut air laut, berjumlah sekitar 80 unit di seluruh perairan Indonesia. Tide gauge digunakan untuk mengetahui perkiraan waktu datangnya tsunami ke daratan. Prih mengatakan, kendati cukup canggih dan akurat, ternyata radar laut masih jauh lebih baik mendeteksi tsunami dibanding tide gauge.

"Radar laut bisa memonitor gelombang tsunami di laut sebelum sampai ke pantai. Kalau tide gauge itu (gelombang tsunami) harus sampai ke pantai dulu," ujar dia. Selain itu, radar laut cukup dipasang di daratan sehingga lebih praktis.

Adapun buoy, alat yang dipasang mengapung di laut dengan berbagai fungsi, kondisinya paling mengenaskan. Jumlahnya hanya belasan di seluruh perairan Indonesia yang rawan tsunami. Sepengetahuan Prih, di sepanjang perairan barat Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, hanya terdapat 2 unit buoy. Itu pun sudah tidak berfungsi optimal.

Ia pun mengakui instrumen yang turut dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu lebih sulit bertahan dibanding peralatan lainnya. "Buoy saya kira terlampau sulit ya, karena ngadepin vandalisme, ketidaksengajaan, kerasnya alam, dan cost tinggi untuk perawatan," kata dia. 

Instrumen terakhir adalah sirene peringatan tsunami. Prih mengatakan BMKG memasang 14 unit sirene peringatan di seluruh Sumatera, yakni 6 unit di Nanggroe Aceh Darussalam, 6 unit di Sumatera Barat, dan 2 unit di Bengkulu. Provinsi lain di Sumatera belum memiliki sirene. 

Aktivasi sirene jika terjadi tsunami tidak dapat dilakukan secara otomatis, melainkan harus dilakukan secara manual. Ada dua otoritas yang dapat mengaktifkan sirine, yakni pemerintah daerah setempat jika kekuatan gempa pemicu tsunami di atas 7 skala Richter dan kantor pusat BMKG jika gempanya di atas 8 skala Richter. 

"Itu harus kami aktivasi. Kami tidak mau pakai sistem yang kalau (sensornya) kena air (gelombang tsunami) langsung bunyi," kata Prih menjelaskan mengapa BMKG menghindari cara aktivasi secara otomatis. "Itu kalau untuk lokal-lokal boleh, tapi kalau untuk sistem yang terintegrasi, tidak." 

Dan sirene peringatan dini tsunami ternyata sangat bergantung pada pasokan listrik sebagai sumber tenaga untuk sistem komunikasi aktivasi, seperti yang terjadi di Aceh dua hari lalu. Hanya dua dari enam sirene yang berbunyi lantaran listrik dimatikan setelah terjadi gempa. Itu pun dilakukan secara manual oleh teknisi yang mendatangi lokasi lantaran sirene tidak dapat diaktifkan dari kantor pusat BMKG.

0 komentar:

Posting Komentar